LIBURAN HANYA UNTUK YANG KAYA
Merasa penat dengan segala rutinitas, pundak sudah seperti mengangkat beban seberat 100kg, dan napas sudah tersengal. Kemudian kita terpikir indahnya desiran ombak pantai, menjelajah situs-situs wisata, dan berbelanja aneka ragam makanan dan oleh-oleh. Wah, nikmatnya hari berlibur. Melepas segala penat dari tumpukan segala pekerjaan dengan melihat suasana berbeda serta memanjakan diri melalui pesona keindahan dunia.
Ketika musim liburan, maka berbondong-bondong tiket transportasi melonjak naik khususnya maskapai-maskapai penerbangan. Seperti mereka telah mempersiapkan dan menyambut hangat musim liburan, lalu seakan-akan mereka menyanyikan dan menggemakan lagu Tasya “Libur Telah Tiba”. Terlena dan melupakan rutinitas, hingga tanpa menyayangkan kumpulan rupiah. Lalu bermanja dengan promo diskon dimana-mana. Mulai dari paket liburan hingga barang-barang di pusat perbelanjaan. Semua hilang kendali untuk mencoba mencari cara agar bisa menghibur diri dan pergi jauh dari segala rutinitas yang dijalani.
Orang-orang mungkin lupa, ada orang yang tidak bisa berlibur walaupun tanggal merah di kalender dituntut untuk diperbanyak. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal apakah saat itu angka bewarna hitam atau merah. Inilah kami “wong cilik”. Bekerja tanpa henti demi mengais rupiah sehari-hari. Cukup tidak cukup yang penting kebutuhan perut terisi. Apalah arti liburan dan arti sebuah warna merah. Kami jarang merasakannya. Boro-boro menikmati matahari tenggelam di pantai, kami hanya bisa duduk di dipan dengan santai dan segelas kopi yang menenangkan. Lalu beranjak turun ke sawah atau mengangkut karung-karung beras di Pasar, lagi dan lagi setiap hari. Tak kenal lelah demi masa depan anak cucu yang cerah. Entah kami harus berterimakasih kepada orang-orang yang berlibur, lalu memamerkannya di TV dan media sosial seperti artis-artis terkenal itu. Karena dari mereka, kami bisa mengetahui indahnya negara Jepang, Swiss, Mesir, Perancis, Inggris, Amerika hingga Antartika barangkali. Kami hanya bisa mendengar tujuan wisata mereka, yang tidak terlalu jauh sepertinya, apabila dilihat dari Atlas, misalnya negara tetangga Thailand barangkali rencana libur tahunan mereka. Kami rasa itu masih satu benua dengan Indonesia. Jangankan negara tetangga, bahkan kota lain di Indonesia pun kami tak pernah menjelajahinya. Tapi orang-orang di TV itu, rasanya sudah mengelilingi banyak kota di Indonesia sehingga mereka bosan dan memilih negara luar yang maju itu atau malah mungkin gengsi jika tujuan wisata mereka disekitar Indonesia saja.
Sampai sekarang pun, kami tidak tahu berapa paket wisata perjalanan ke luar negeri. Naik bus untuk keluar kota menjual hasil panen sudah cukup untuk kami. Kami pun berwisata menikmati pemandangan. Tapi rasanya bukan pemandangan yang kami lihat, karena kami sudah mulai letih dan memejamkan mata untuk sekedar beristirahat sejenak di dalam bus kami. Lalu pemandangan itu terlewat begitu saja. Sesekali, kami coba tetap terjaga untuk melihat pemandangan disekitar, tapi terlalu gelap. Mungkin kami terlalu pagi berangkat, dimana orang-orang tertidur lelap namun kami berusaha terjaga untuk mengantarkan hasil panen kami ke perut mereka.
Kami juga sempat bermimpi, tidur bersama keluarga kami di hotel mewah. Namun saat kami terjaga, kami baru ingat rumah dan tanah kami digusur. Katanya kami terlalu banyak bermimpi untuk memiliki rumah sendiri dan bermalas-malasan seperti resort pribadi kami. Ini bukan tanah milik kami kata mereka. Lalu kami pergi. Pembangunan itu ternyata diubah menjadi usaha-usaha milik perusahaan kaum elit. Yang katanya, keuntungannya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Kami membayangkan, mungkin sebagian uang mereka, digunakan untuk berlibur juga ke suatu negara. Katanya mereka perlu liburan setelah lelah menggusur rumah-rumah kumuh kami. Sementara kami, seperti biasanya harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi dan tempat tinggal di hari libur itu. Libur katanya, tapi rasanya kami perlu bekerja keras untuk anak cucu.
Setelah kami bekerja keras, kami menyisihkan sebagian uang kami untuk negara. Kami tidak bisa tinggal diam, karena kami ingin bangsa ini maju seperti negara-negara di luar sana. Kami sumbangkan harta kekayaan kami yang tak seberapa bila dibandingkan dengan kaum elit. Namun kami tercengang dan kaget, ada manusia yang pintar dan bersekolah tinggi, tapi kok kurang iman. Mereka maling uang bangsa ini. Mungkin mereka ingin pergi liburan, tapi tidak kesampaian, sehingga perlu uang dari wong cilik seperti kami. Kami tidak bisa berbuat apa-apa dan berdoa untuk kebaikan mereka. Semoga rencana liburan mereka kesampaian di dalam bui menikmati hitungan hari.
Anak cucu kami mungkin memang belum layak tinggal di kota mereka. Karena kami lusuh dan kotor. Sehingga mereka tidak diterima untuk bermain. Rupanya kota-kota hanya dibangun untuk memenuhi kebutuhan liburan orang kaya. Nyatanya, tidak ada fasilitas bermain bagi kami si anak miskin. Cukuplah pelepah pisang dan tongkat kayu sebagai pengganti mainan kami. Lalu jalanan mengisi hari-hari. Mungkin kami hanya akan jadi tersingkir di negeri sendiri. Tak apa, setidaknya kami masih punya harapan kepada bangsa ini untuk terus berbenah. Mungkin mereka lupa, karena terlalu lama meninggalkan kota ini dalam perjalanan liburan mereka. Semoga mereka mengingat kami setelah kembali.
Mungkin kami hanya iri, dengan kaum elit. Namun juga ingin berterimakasih. Terima kasih sudah menjadikan generasi-generasi bangsa untuk mudah dalam menghabiskan rupiah, bukan untuk bekerja keras. Banyak anak-anak sekarang yang menjadikan liburan sebagai ajang gengsi dengan sesama. Karena itulah, banyak anak-anak sekarang bahkan masih duduk di bangku sekolah mudah menjadi minder. Tapi anak cucu kami tidak akan khawatir dengan gengsi liburan itu, karena mereka tahu itu bukanlah hal yang penting untuk direnungi. Sudah cukup merenungi keadaan keluarga yang perutnya belum tentu terisi setiap hari. Terima kasih juga untuk yang telah mengecewakan kami si kaum miskin, karena dengan begitu, kami bisa belajar bersabar dan ikhlas menghadapi rintangan hidup. Kelak anak cucu kami tidaklah lemah dalam menjalani hari, mereka sudah ditempa dengan nasib dan hari-hari penuh peluh. Mereka akan selalu menjadi anak yang berpikir maju dan berusaha mencapai semua itu dengan kerja keras. Lalu mereka bisa berlibur dengan keturunan-keturunan mereka dan tidak harus seperti nasib kami yang membanting tulang hingga usia senja ini. Akan tetapi mereka tahu, liburan hanya kesenangan semata dan ketika liburan itu berakhir, kesenangan itu pun akan menghilang juga. Maka seharusnya, anak cucu kami sudah mengerti, bahwa nanti hasil kerja keras mereka bukan hanya berakhir untuk kesenangan duniawi semata namun kebahagiaan sejatinya adalah membantu sesama yang membutuhkan di sekitar kita dan tentunya menjadi pribadi yang bermanfaat untuk selalu berbuat kebaikan.
Keren kak �� mereka yang liburan hanya tau kesenangan tanpa tahu bahwa di tempat lain masih banyak orng yg menderita
BalasHapus